Rabu, 20 April 2016

Sumber Ajaran Agama Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Setiap agama pasti mempunyai sumber agama yang biasanya berupa kitab ataupun lisan,perbuatan dan ketetapan yang digambarkan atau di tuliskan dalam kitab. Sumber agama digunakan sebagai acuan ataupun pedoman bagi umatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan sumber ajaran agama islam yang berguna untuk pedoman hidup, dengan adanya sumber ajaran agama ini hidup kita akan lebih terarah untuk melakukan kehidupan di dunia maupun bekal nanti di akhirat dan memang sudah fitrah kita sebagai manusia membutuhkan adanya agama. Sebagaimana Allah berfirman :


لِخَلْقِ تَبْدِيلَ لَا ۚعَلَيْهَا النَّاسَ فَطَرَ اللَّهِ فِطْرَتَ ۚحَنِيفًا لِلدِّينِ وَجْهَكَ فَأَقِمْ  يَعْلَمُونَ لَا النَّاسِ أَكْثَرَ وَلَٰكِنَّ الْقَيِّمُ الدِّينُ ذَٰلِكَ اللَّهِ

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(QS. Ar-Rum [30]: 30)
Oleh karena tanpa adanya agama hidup kita tak akan merasa tenang, damai, tentram ataupun bahagia karena memang dengan adanya agama kita akan mencapai suatu kebahagiaan baik itu di dunia maupun di akhirat.
Dengan adanya agamapun kebutuhan masyarakat kepada solidaritas dan soliditas. Agama memiliki peran yang sangat besar dalam mengeratkan hubungan antara manusia satu sama lain. Di mata Allah, semua manusia sama. Allah tidak membeda-bedakan. Sebagaimana Allah berfirman :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S Al-Hujurat: 13 )
Oleh karena itulah batin kita harus terpenuhi dengan adanya agama dan menjalankan agama itu sesuai dengan sumber ajaran agamanya.
     
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Al-Quran diturunkan?
2.      Apa arti dan fungsi Al-Quran?
3.      Apa arti dan fungsi Sunnah?
4.      Apa saja macam-macam Hadits ?
5.      Mengapa diperlukan adanya Ijtihad?

C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah turunnya Al-Quran
2.      Untuk mengetahui arti dan fungsi Al-Quran
3.      Untuk mengetahui arti dan fungsi Sunnah
4.      Untuk mengetahui macam-macam Hadits
5.      Untuk mengetahui alasan diperlukannya adanya Ijtihad
6.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sumber Ajaran Agama Islam
Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan, atau acuan dalam penyelenggaraan ajaran islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi pelaksaan ajaran islam. Dari sumber inilah umat islam dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran agama islam, tanpa adanya suatu sumber maka umat islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan berakhir pada kesesatan dan kenistaan. Sumber ajaran agama Islam ada tiga yaitu Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad.
B.       Al-Qur’an
1.      Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak mungkin berubah, direduksi, ataupun dimanipulasi oleh siapapun. Secara etimologi, kata “Al-Qur’an” adalah bentuk masdar dari kata kerja qara’a-yaqra’u-qira’atan wa qur’anan yang berarti bacaan. Sebagian ulama berpandangan bahwa Al-Qur’an memang bentuk masdar dari qara’a, tetapi diartikan sebagai isim maful, yaitu maqru’ maksudnya Al-Qur’an diartikan sebagai bacaan yang dibaca. Dengan demikian Al-Qur’an merupakan kitab suci Allah yang dimaksudkan untuk selalu dibaca oleh umat manusia kapan dan dimana mereka berada.
Sedangkan secara teminologi Al-Qur’an diartikan sebagai wahyu (kitab) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril dalam bentuk lafaz yang berbahasa arab sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Berdasarkan (QS. Az-Zumar [39]: 1) yang artinya : “kitab al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan (QS. Al-Ana’am [6]:155) yang artinya : “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang kami turunkan yang diberkati. Maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat”, maka dapat dipahami bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah dan bukanlah puisi, matera, bisikan, ataupun nyanyian sastrawi sebagaimana sering dituduhkan orang-orang kafir sebagai buatan Muhammad SAW.

2.      Fungsi dan Tujuan Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim, korektor dan penyempurnaan terhadap kitab-kitab Allah terdahulu, petunjuk bagi manusia, orang yang bertakwa dan orang yang beriman, peringatan (al-dzikr), pembeda (al-furqan) antara hak dan batil, obat jiwa (al-syifa’), cahaya terang (an-nur) bagi yang meraba-raba dalam kegelapan, bukti kebenaran (al-burhan), sekaligus sebagai nasihat (al-mau’izhah) bagi orang yang bertakwa.
Menurut M. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia, ajaran-ajaran didalam al-Qur’an memiliki tiga tujuan pokok, yaitu :
a.       petunjuk Akidah dan kepercayaan yang harus dianut manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan bahkan kepastian adanya hari pemalasan.
b.      petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual maupun kolektif.
c.       petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikut oleh manusia dalam hubungannya dengan tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia kepada jalan yang lurus demi tercapainya kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.


3.      Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur ditujukan untuk menjawab problem dan peristiwa yang terjadi sehingga al-Qur’an diturunkan seolah-olah ia berkomunikasi langsung secara dialogis dengan manusia, dan hal ini memberi hikmah bagi Nabi SAW maupun umatnya, antara lain:
a.       Meringankan Nabi dalam menerima wahyu
b.      Memudahkan Nabi dalam  menjelaskan kandungan al-Qur’an dan mencontoh pelaksanaannya
c.       Meneguhkan hati Nabi dalam menghadapi celaan dan penganiayaan orang-orang kafir dan musyrik
d.      Memudahkan umat dalam menghafal, memahami dan melaksanakan isi atau kandungan al-qur’an.
e.       Membangun umat menuju bentuk yang sempurna dengan menanamkan keimanan yang sejati, peribadatan yang benar dan akhlak yang terpuji
f.       Meneguhkan hati orang yang beriman dan meringankan beban penderitaan mereka dalam menegakan dan memperjuangkan Islam.
Para ulama ulum al-Qur’an membagi sejarah turunnya al-qur’an dalam dua periode, yaitu:
1)      Periode Sebelum Hijrah
Ayat al-qur’an yang turun pada periode sebelum hijrah disebut dengan ayat-ayat makkiyah. periode ini berlangsung selama 12 tahun, 5 bulan dan 13 hari,  yaitu dimulai sejak 17 ramadhan tahun ke-41 sampai awal bulan rabiul awal dari usia Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang pertama turun adalah surat al-alaq, lalu surat muddatstsir dan al-muzzammil. Secara umum, kandungan wahyu pada periode pertama ini menyangkut tiga hal, yaitu pendidikan kepribadian bagi rasul, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al (perbuatan) Allah. Dan keterangan tentang dasar-dasar akhlak islam serta bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah.
2)      Periode Sesudah Hijrah
Periode ini disebut periode madinah dan ayat-ayat yang turun pada tahun ini disebut madaniyah yang berlangsung selama 9 tahun, 9 bulan dan 9 hari, yaitu sejak awal bulan rabiul awal 1 hijriah sampai 9 julhijah 10 hijriah. Pada periode ini turunlah surat QS. At-Taubah [9]: 13-14, al-Maidah [5]: 90-91, an-Nur[24]: 27, Ali  Imran[3]: 139-140. Yang terpenting pada periode ini adalah kondisi rasul dan kaum muslimin sudah bebas dan hidup tenang sehingga wahyu yang turun kebanyakan kandungan isinya mengenai prinsip-prinsip yang mesti diterapkan untuk mencapai kebahagiaan hidup, sikap atas ahli kitab, orang kafir ataupun kaum munafik, perintah yang tegas tentang judi dan larangan lainnya, serta akhlak sehari-hari bagi seorang muslim. Seluruh wahyu al-Qur’an yang telah diturunkan Allah pada Nabi Muhammad SAW, baik pada periode makkiyah maupun madaniyah, tidaklah dalam wuyud sebuah kitab (mushaf). Pada masa Rasulullah SAW, ayat-ayat al-Qur’an dihafal oleh para sahabat dan ditulis diberbagai macam sarana sederhana. Kemudian baru pada masa Abu Bakar dimulailah pengumpulah ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf oleh panitia yang diketuai Zaid bin Tsabit.

4.      Komitmen Seorang Muslim Terhadap al-Qur’an
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk memiliki komitmen terhadap al-Qur’an, antara lain :
a.       Seorang muslim wajib mengimani bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia sebagaimana Allah berfirman :
“wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepda Allah dan Rasulna dan kepada kitab (Al-Quran) yang diturunkan kepada Rasul-nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. barang siapa yang ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian maka sungguh orang itu telah tersesat jauh.(QS. An-Nisa[4]: 136 dan adapun dalam surat al-Baqarah[2]: 2)
b.      Seorang muslim dituntut untuk mempelajari al-Qur’an, baik cara membacanya (tilawah), artinya (tarjamah), dan maksudya (tafsir). Dalam firman Allah :
“Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al-Quran, kami adakan suatu dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat”.(QS. Al-Isra’ [17]: 45, dan adapun dalam surat Al-Anfal [8]: 2, Al-Muzzammil [73]: 4, 20, Muhammad [47]: 24, Ali-Imran [3]: 7)
c.       Seorang muslim harus mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam seluruh kehidupannya, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, maupun kehidupan antar bangsa, baik aspek ekonomi, politik, budaya, pendidikan, teknologi, maupun aspek yang lain. Seperti dalam firman Allah yaitu:
“ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu, dan janganlah kamu ikuti selain dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.(QS. Al-Araf [7]: 3,  adapun dalam surat al-Jatsiyah [45]: 7-8, an-Nur [24]: 51, al-Maidah [4]: 44,45,47, an-Nisa [4]: 105).
d.      Seorang muslim haruslah berusaha mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain sehingga mereka dapat memahami dan mengimaniya, sebagaimana Allah berfirman :
“Dan hendakla diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru keada kebajukan, menyuruh (berbuat ) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran [3]: 104), adapun dalam Q.S Al-Imran:110
e.       Seorang muslim harus berusaha memahami bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Allah pun berfirman :
“Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti”.(QS. Yusuf [12]: 2).
C.    As-Sunnah
Secara etimologi as-sunnah berarti (1) at-tariqah: jalan, cara, metode, baik jalan yang terpuji maupun jalan yang tercela; (2) as-sirah: perkehidupan, perilaku; (3) lawan atau kebalikan dari makruh; (4) at-tabi’ah: tabiat, watak, perangai; (5) asy-syari’ah: syariat, peraturan, hukum; dan al-hadist: perkataan. Sedangkan secara etimologi, menurut ahli usul fikih, sunah diartikan sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan atau ucapan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) yang dijadikan dalil hukum syari’at, disampaikan dengan cara yang sahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil), baik yang berkaitan dengan hukum maupun tidak, baik yang terjadi sebelum Nabi diangkat sebagai rasul maupun setelahnya. Sunah lebih dikenal dengan istilah hadist, khabar, atau atsar
D.    Klasifikasi Sunah
Sunah umumnya diklasifikasikan menjadi tiga macam berdasarkan kategori perkataan, perbuatan dan  taqrir Nabi Muhammad SAW, yaitu :
1.      Sunnah Qauliyyah
Sunnah qauliyyah adalah segala ucapan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bentuknya yang berkaitan dengan masalah hukum, seperti sabdanya : “innamal a’malu binniyat, wa innama likullimri-in ma nawa... (sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya...)” (HR. Bukhari dan Muslim).
2.      Sunnah Fi’liyyah
Sunah fi’liyah merupakan segala perbuatan atau tindakan Nabi Muhammad SAW yang berkenaan dengan hukum, seperti cara beliau berwudhu, shalat, haji dan lain sebagainya. Contohnya :
Artinya : “Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Malik ibn Huwairits)
3.      Sunah Taqririyah       
Sunnah taqririyah adalah sesuatu yang berkenaan dengan pesetujuan atau ketetapan Nabi Muhammad SAW. Contoh nya :
Diriwatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Khalid bin Walid memakan dhab (sejenis biawak) yang kemudian dihidangkan kepada Nabi saw, akan tetapi Nabi enggan untuk memakannya. Lalu sebagian sahabat (Khalid) bertanya: “Apakah kita diharamkan makan dhab, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab :
حَلَالٌ فَإِنَّهُ كُلُوْا قَوْمِي، اَرْضِ فِى لَيْسَ وَلَكِنَّهُ لاَ،
“Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku (oleh karena itu aku tidak suka memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia (dhab) halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Adapun jika dilihat dari kualifikasi ilmu hadits, maka biasanya sunnah atau hadits dibedakan:
1)      Berdasarkan Jumlah Perawi:
a.       Mutawatir,yaitu sunnah atau hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi (pencerita) pada setiap tingkatan (tabaqah) dimana mereka mustahil sepakat untuk berdusta dan riwayat itu harus bersifat inderawi.
b.      ahad, yaitu hadits yang jumlah perawinya disetiap tingkat tidak sampai ketingkat mutawatir.

2)      Berdasarkan Kwalitas Sannad (Jalur Penceritanya) Dan Matan (Teksnya) :
a.       sahih, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, terpecaya, kuat hafalannya, dan tidak mempunyai cacat dan jalur periwayatnya sampai nabi
b.      hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, terpecaya, tidak cacat moral, namun kurang kuat dalam hal hafalannya dan jalur periwayatannya sampai pada nabi.
c.       dhaif, yaitu hadits lemah, yakni hadits yang penceritanya terdapat cacat, atau periwayatannya tidak sampai nabi.

E.     Kedudukan Sunnah Dan Hubungannya Dengan al-Qur’an
1.      Bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya umum, tak ada penjelasannya teknisnya. Misalnya perintah tentang sholat. Al-Qur’an hanya memerintahkan umat islam untuk sholat tetapi tidak memerinci bagaimana cara melaksanakan sholat. Dalam hal ini sunnah lah yang menjelaskan bagaimana cara melaksanakan sholat.
2.      Bayan taqrir, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an seperti dalam surat Al-Baqarah:185 yaitu :
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (Q.S Al-Baqarah : 185.)
Dan diperkuat oleh hadits Nabi yang memerintahkan untuk mulai berpuasa pada saat melihat bulan yang menjadi pertanda masuk bulan ramadhan dan menyudahi puasa saat melihat bulan yang menandakan berakhirnya bulan ramadhan.
3.      Bayan taudhi, yaitu menerangkan maksud dan tujuan suatu ayat seperti pernyataan nabi SAW: “ Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakatkan”. Perkataan ini menerangkan ayat 34 surat At-taubah

F.      Ijtihad
Proses pengambilan suatu produk hukum atau aturan tertentu dari sumber asli ini disebut dengan ijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban”. Karena itu ijtihad menurut bahasa diartikan sebagai usaha yang optimal dan menanggung beban berat. Kata jahada juga menunjuk makna kesanggupan, kekuatan dan berat.
Secara terminologi para ulama mendefinisikan ijtihad dalam beberapa pengertian, antara lain:
1.      Abdul Wahhab mendefinisikan ijtihad dengan mencurahkan segala kesungguhan untuk mendapatkan syara’ dan dalil yang terperinci dari dalil-dalil syari’ah.
2.      Imam asy-Syaukani mengartikan ijtihad dengan mencurakan segalah kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat amaliah dengan cara menggunakan istinbat (menggeluarkan hukum atau aturan dari sumber asli).
3.      Al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai dengan, mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zanni (tak pasti maknanya), dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.
4.      Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad dengan pencurahan kemampuan seorang muztahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i.
5.      Abu Zahrah mendefinisikan ijtihad dengan upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Berdasarkan beberapa definisi para ulama diatas, terdapat persamaan dan perbedaan diantara mereka, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa perbedaan terjadi pada: pertama, terletak pada subjek ijtihad, ada yang menisbatkan kepada ahli fikih dan sebagaian menisbatkan kepada mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad tidak terbatas pada fikih tetapi juga menyangkut hal lain. Kedua, terletak pada metode ijtihad, ada yang menggunakan metode manquli (dari al-Qur’an dan sunnah), sementara sebagian yang lain menggunakan metode ma’quli (penalaran akal).
Adapun kesamaannya yaitu: pertama, hukum yang dihasilkan dari ijtihad bersifat zanni (nilai kebenarannya tidak mutlak), dan kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi, yaitu hukum yang berkenaan dengan amaliah, bukan yang berkenaan dengan akidah. Secara umum ijtihad dapat didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh untuk mengeluarkan suatu hukum atau ajaran tertentu dari al-Qur’an dan sunnah dengan syarat dan metode tertentu. Namun yang lebih tepat, ijtihad adalah sebuah alat untuk merumuskan hukum atau aturan tertentu dari sumber asli islam. Ijtihad memiliki kesamaan arti dan fungsi dengan istilah Tajdid dapat diartikan sebagai upaya Purifikasi, Revitalisasi, Reformulasi dan Modernisasi ajaran-ajaran islam. Purifikasi artinya pemurnian kembali, yakni mengembalikan ajaran islam sesuai dengan sumber asli yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Revitalisasi adalah pemaknaan ajaran islam sehingga berperan nyata dalam kejiwaan orang bersangkutan maupun dalam kehidupan sosial. Reformulasi adalah penyusunan kembali khasanah keilmuan islam sesuai dengan kebutuhan zaman. Terakhir, Modernisasi adalah upaya menyelaraskan ajaran Islam dengan dunia modern sekaligus mengevaluasi modernisme dengan ajaran Islam. Contoh dari ijtihad yaitu, misalnya : Penentuan I Syawal, Para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumennya untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan. Setiap ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, jika telah ketemu maka muncullah kesepakatan dalam penentuan 1 Syawal.
Oleh karena itu ijtihad sangatlah berguna di zaman yang sudah sangat modern ini agar tetap taat kepada Allah, karena banyak sekali permasalah saat zaman ini yang dapat membuat manusia jauh dari agama apalagi di tambah dengan banyaknya manusia yang tidak dapat atau mau berfikit keadaan umat islam saat ini. inilah manfaat Ijtihad yaitu :
1.      Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat diketahui hukumnya sehingga hukum islam selalu berkembang serta sanggup menjawab tantangan.
2.      Dapat menyesuaikan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman, waktu dan keadaan.
3.      Menetapkan fatwa terhadap masalah-masalah yang tidak terkait dengan halal atau haram.
4.      Dapat membantu umat islam dalam menghapi setiap masalah yang belum ada hukumnya secara islam.


 BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan mengetahuinya sumber ajaran agama Islam maka kita tidak akan lagi bingung bagaimana memutuskan suatu perkara, membedakan mana yang benar atau salah dan dengan cara menerapkan sumber ajaran agama Islam itu, seperti halnya Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad dalam kehidupan sehari-hari kita. Dengan memandang bahwa sumber itu sebagai pedoman, petunjuk, acuan di dalam kehidupan kita, maka dengan diterapkannya Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad kita tidak akan bingung lagi hidup di dunia,bimbang dalam menjalani kehidupan karena insya Allah kita akan selamat di dunia dan akhirat apabila menerapkan sumber ajaran agama islam tersebut.
B.     Saran
Jadikanlah Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad untuk pedoman hidup kita, karena dengan mempelajari dan menerapkannya maka kita akan mengetahui mana yang baik dan buruk dan apa yang paling utama dan dipentingkan terlebih dahulu dalam hal apapun.



  DAFTAR PUSTAKA

Risalah islam.2013.Sumber Ajaran Islam Al-Quran  Hadits.2 November 2015
Abdullah21.wordpress.com.2008.Sumber Ajaran Islam.5 November 2015
tim penulis.2009.Pendidikan Agama Islam.Uhamka Press.
http://tafsirq.com/30-ar-rum/ayat-30 21 Desember 2015 pukul 05.22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar