BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
agama pasti mempunyai sumber agama yang biasanya berupa kitab ataupun
lisan,perbuatan dan ketetapan yang digambarkan atau di tuliskan dalam kitab.
Sumber agama digunakan sebagai acuan ataupun pedoman bagi umatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan sumber ajaran agama islam yang
berguna untuk pedoman hidup, dengan adanya sumber ajaran agama ini hidup kita
akan lebih terarah untuk melakukan kehidupan di dunia maupun bekal nanti di
akhirat dan memang sudah fitrah kita sebagai manusia membutuhkan adanya agama.
Sebagaimana Allah berfirman :
لِخَلْقِ
تَبْدِيلَ لَا ۚعَلَيْهَا النَّاسَ فَطَرَ اللَّهِ فِطْرَتَ ۚحَنِيفًا لِلدِّينِ وَجْهَكَ
فَأَقِمْ يَعْلَمُونَ لَا النَّاسِ أَكْثَرَ
وَلَٰكِنَّ الْقَيِّمُ الدِّينُ ذَٰلِكَ اللَّهِ
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(QS. Ar-Rum [30]: 30)
Oleh
karena tanpa adanya agama hidup kita tak akan merasa tenang, damai, tentram
ataupun bahagia karena memang dengan adanya agama kita akan mencapai suatu
kebahagiaan baik itu di dunia maupun di akhirat.
Dengan
adanya agamapun kebutuhan masyarakat kepada solidaritas dan soliditas. Agama
memiliki peran yang sangat besar dalam mengeratkan hubungan antara manusia satu
sama lain. Di mata Allah, semua manusia sama. Allah tidak membeda-bedakan.
Sebagaimana Allah berfirman :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”. (Q.S Al-Hujurat: 13 )
Oleh
karena itulah batin kita harus terpenuhi dengan adanya agama dan menjalankan
agama itu sesuai dengan sumber ajaran agamanya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Al-Quran diturunkan?
2. Apa
arti dan fungsi Al-Quran?
3. Apa
arti dan fungsi Sunnah?
4. Apa
saja macam-macam Hadits ?
5. Mengapa
diperlukan adanya Ijtihad?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah turunnya Al-Quran
2. Untuk
mengetahui arti dan fungsi Al-Quran
3. Untuk
mengetahui arti dan fungsi Sunnah
4. Untuk
mengetahui macam-macam Hadits
5. Untuk
mengetahui alasan diperlukannya adanya Ijtihad
6. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sumber
Ajaran Agama Islam
Sumber
adalah tempat pengambilan, rujukan, atau acuan dalam penyelenggaraan ajaran
islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi pelaksaan
ajaran islam. Dari sumber inilah umat islam dapat memiliki pedoman-pedoman
tertentu untuk melaksanakan proses ajaran agama islam, tanpa adanya suatu
sumber maka umat islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa
jadi akan berakhir pada kesesatan dan kenistaan. Sumber ajaran agama Islam ada tiga yaitu Al-Quran,
As-Sunnah dan Ijtihad.
B.
Al-Qur’an
1. Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak mungkin berubah, direduksi, ataupun
dimanipulasi oleh siapapun. Secara etimologi, kata “Al-Qur’an” adalah bentuk masdar dari kata kerja qara’a-yaqra’u-qira’atan wa qur’anan
yang berarti bacaan. Sebagian ulama berpandangan bahwa Al-Qur’an memang bentuk masdar dari qara’a, tetapi diartikan sebagai isim maful, yaitu maqru’
maksudnya Al-Qur’an diartikan sebagai bacaan yang dibaca. Dengan demikian
Al-Qur’an merupakan kitab suci Allah yang dimaksudkan untuk selalu dibaca oleh
umat manusia kapan dan dimana mereka berada.
Sedangkan
secara teminologi Al-Qur’an diartikan sebagai wahyu (kitab) Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat
Jibril dalam bentuk lafaz yang berbahasa arab sebagai petunjuk bagi seluruh
umat manusia.
Berdasarkan
(QS. Az-Zumar [39]: 1) yang artinya : “kitab al-Qur’an ini diturunkan oleh
Allah yang Maha
Perkasa
lagi Maha
Bijaksana.
Dan (QS. Al-Ana’am [6]:155) yang artinya : “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang
kami turunkan yang diberkati. Maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi
rahmat”, maka dapat dipahami bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari
Allah dan bukanlah puisi, matera, bisikan, ataupun nyanyian sastrawi
sebagaimana sering dituduhkan orang-orang kafir sebagai buatan Muhammad SAW.
2. Fungsi dan Tujuan Al-Qur’an
Al-Qur’an
memiliki fungsi sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim, korektor dan
penyempurnaan terhadap kitab-kitab Allah terdahulu, petunjuk bagi manusia, orang
yang bertakwa dan orang yang beriman, peringatan (al-dzikr),
pembeda (al-furqan) antara
hak dan batil, obat jiwa
(al-syifa’),
cahaya terang (an-nur) bagi yang
meraba-raba dalam kegelapan, bukti kebenaran (al-burhan),
sekaligus
sebagai nasihat (al-mau’izhah)
bagi orang yang bertakwa.
Menurut M. Quraish Shihab, pakar tafsir
Indonesia, ajaran-ajaran didalam al-Qur’an memiliki tiga tujuan pokok, yaitu :
a. petunjuk
Akidah dan kepercayaan yang harus dianut manusia yang tersimpul dalam keimanan
akan keesaan Allah dan kepercayaan bahkan kepastian adanya hari pemalasan.
b. petunjuk
mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan
susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual
maupun kolektif.
c. petunjuk
mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang
harus diikut oleh manusia dalam hubungannya dengan tuhan dan sesamanya atau
dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia kepada
jalan yang lurus demi tercapainya kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
3. Sejarah
Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an
di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang
lebih 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur
ditujukan untuk menjawab problem dan peristiwa yang terjadi sehingga al-Qur’an diturunkan seolah-olah ia
berkomunikasi langsung secara dialogis dengan manusia, dan hal ini memberi
hikmah bagi Nabi SAW maupun umatnya, antara lain:
a. Meringankan
Nabi dalam menerima wahyu
b. Memudahkan
Nabi dalam menjelaskan kandungan al-Qur’an dan mencontoh
pelaksanaannya
c. Meneguhkan
hati Nabi dalam menghadapi celaan dan penganiayaan orang-orang kafir dan
musyrik
d. Memudahkan
umat dalam menghafal, memahami dan melaksanakan isi atau kandungan al-qur’an.
e. Membangun
umat menuju bentuk yang sempurna dengan menanamkan keimanan yang sejati, peribadatan yang benar dan akhlak
yang terpuji
f. Meneguhkan
hati orang yang beriman dan meringankan beban penderitaan mereka dalam menegakan
dan memperjuangkan Islam.
Para
ulama ulum al-Qur’an membagi
sejarah turunnya al-qur’an
dalam dua periode, yaitu:
1)
Periode Sebelum Hijrah
Ayat al-qur’an yang turun pada periode
sebelum hijrah disebut dengan ayat-ayat makkiyah. periode ini berlangsung
selama 12 tahun, 5 bulan dan 13 hari,
yaitu dimulai sejak 17 ramadhan tahun ke-41 sampai awal bulan rabiul
awal dari usia Nabi
Muhammad
SAW. Wahyu yang pertama turun adalah surat al-alaq, lalu surat muddatstsir dan
al-muzzammil. Secara umum, kandungan wahyu pada periode pertama ini menyangkut
tiga hal, yaitu pendidikan kepribadian bagi rasul, pengetahuan-pengetahuan
dasar mengenai sifat dan af’al
(perbuatan) Allah. Dan keterangan tentang dasar-dasar akhlak islam serta
bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah.
2) Periode
Sesudah Hijrah
Periode
ini disebut periode madinah dan ayat-ayat yang turun pada tahun ini disebut
madaniyah yang berlangsung selama 9 tahun, 9 bulan dan 9 hari, yaitu sejak awal
bulan rabiul awal 1 hijriah sampai 9 julhijah 10 hijriah. Pada periode ini turunlah surat QS. At-Taubah [9]: 13-14,
al-Maidah [5]: 90-91, an-Nur[24]: 27, Ali Imran[3]:
139-140. Yang terpenting pada periode ini adalah kondisi rasul dan kaum
muslimin sudah bebas dan hidup tenang sehingga wahyu yang turun kebanyakan kandungan
isinya mengenai prinsip-prinsip yang mesti diterapkan untuk mencapai
kebahagiaan hidup, sikap atas ahli kitab, orang kafir ataupun kaum munafik,
perintah yang tegas tentang judi dan larangan lainnya, serta akhlak sehari-hari
bagi seorang muslim. Seluruh wahyu al-Qur’an yang telah diturunkan Allah pada
Nabi Muhammad SAW, baik pada periode makkiyah maupun madaniyah, tidaklah dalam
wuyud sebuah kitab (mushaf). Pada
masa Rasulullah
SAW, ayat-ayat al-Qur’an dihafal oleh para sahabat dan ditulis diberbagai macam
sarana sederhana. Kemudian baru pada masa Abu Bakar dimulailah pengumpulah
ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf oleh panitia yang diketuai Zaid bin
Tsabit.
4. Komitmen
Seorang Muslim Terhadap
al-Qur’an
Sebagai seorang muslim kita dituntut
untuk memiliki komitmen terhadap al-Qur’an, antara lain :
a. Seorang
muslim wajib mengimani bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia
sebagaimana Allah berfirman :
“wahai
orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepda Allah dan Rasulna dan kepada
kitab (Al-Quran) yang diturunkan kepada Rasul-nya, serta kitab yang diturunkan
sebelumnya. barang siapa yang ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian maka sungguh orang itu
telah tersesat jauh.(QS. An-Nisa[4]: 136 dan adapun dalam
surat al-Baqarah[2]: 2)
b. Seorang muslim dituntut untuk
mempelajari al-Qur’an, baik cara membacanya (tilawah),
artinya (tarjamah), dan maksudya (tafsir). Dalam firman Allah :
“Dan apabila engkau
(Muhammad) membaca Al-Quran, kami adakan suatu dinding yang tidak terlihat
antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat”.(QS.
Al-Isra’ [17]: 45, dan adapun dalam surat Al-Anfal [8]: 2, Al-Muzzammil [73]:
4, 20, Muhammad [47]: 24, Ali-Imran [3]: 7)
c. Seorang muslim harus mengamalkan
ajaran al-Qur’an dalam seluruh kehidupannya, baik kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, negara, maupun kehidupan antar bangsa, baik aspek ekonomi, politik,
budaya, pendidikan, teknologi, maupun aspek yang lain. Seperti dalam firman
Allah yaitu:
“ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu, dan janganlah kamu ikuti selain dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.(QS.
Al-Araf [7]: 3, adapun dalam surat al-Jatsiyah
[45]: 7-8, an-Nur [24]: 51, al-Maidah [4]: 44,45,47, an-Nisa [4]: 105).
d.
Seorang
muslim haruslah berusaha mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain sehingga mereka
dapat memahami dan mengimaniya, sebagaimana Allah berfirman :
“Dan
hendakla diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru keada kebajukan,
menyuruh (berbuat ) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran [3]:
104), adapun dalam Q.S Al-Imran:110
e. Seorang muslim harus berusaha
memahami bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Allah pun berfirman :
“Sesungguhnya
kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti”.(QS.
Yusuf [12]: 2).
C. As-Sunnah
Secara etimologi as-sunnah berarti (1) at-tariqah:
jalan, cara, metode, baik jalan yang terpuji maupun jalan yang tercela; (2) as-sirah: perkehidupan, perilaku; (3)
lawan atau kebalikan dari makruh; (4)
at-tabi’ah: tabiat, watak, perangai;
(5) asy-syari’ah: syariat, peraturan,
hukum; dan al-hadist: perkataan. Sedangkan secara etimologi, menurut
ahli usul fikih, sunah diartikan sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan atau ucapan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) yang dijadikan dalil
hukum syari’at, disampaikan dengan cara yang sahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil), baik yang berkaitan dengan hukum maupun tidak, baik
yang terjadi sebelum Nabi diangkat sebagai rasul maupun setelahnya. Sunah lebih
dikenal dengan istilah hadist, khabar,
atau atsar
D.
Klasifikasi
Sunah
Sunah umumnya diklasifikasikan
menjadi tiga macam berdasarkan kategori perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW, yaitu :
1. Sunnah Qauliyyah
Sunnah qauliyyah adalah segala ucapan Nabi Muhammad
SAW dalam berbagai bentuknya yang berkaitan dengan masalah hukum, seperti
sabdanya : “innamal a’malu binniyat, wa
innama likullimri-in ma nawa... (sesungguhnya segala perbuatan itu dengan
niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya...)” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Sunnah Fi’liyyah
Sunah fi’liyah
merupakan segala perbuatan atau tindakan Nabi Muhammad SAW yang berkenaan
dengan hukum, seperti cara beliau berwudhu, shalat, haji dan lain sebagainya.
Contohnya :
Artinya :
“Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat”. (HR.
Al-Bukhary dan Muslim dari Malik ibn Huwairits)
3. Sunah
Taqririyah
Sunnah taqririyah adalah sesuatu yang
berkenaan dengan pesetujuan atau ketetapan Nabi Muhammad SAW. Contoh nya :
Diriwatkan oleh Al-Bukhari dan Imam
Muslim bahwa sahabat Khalid bin Walid memakan dhab (sejenis biawak) yang
kemudian dihidangkan kepada Nabi saw, akan tetapi Nabi enggan untuk memakannya.
Lalu sebagian sahabat (Khalid) bertanya: “Apakah kita diharamkan makan dhab,
wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab :
حَلَالٌ فَإِنَّهُ كُلُوْا قَوْمِي،
اَرْضِ
فِى لَيْسَ وَلَكِنَّهُ لاَ،
“Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku (oleh karena
itu aku tidak suka memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia (dhab) halal”. (HR.
Al-Bukhary dan Muslim)
Adapun
jika dilihat dari kualifikasi ilmu hadits, maka biasanya sunnah atau hadits
dibedakan:
1) Berdasarkan
Jumlah Perawi:
a. Mutawatir,yaitu
sunnah atau hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi (pencerita)
pada setiap tingkatan (tabaqah)
dimana mereka mustahil sepakat untuk berdusta dan riwayat itu harus bersifat
inderawi.
b. ahad, yaitu
hadits yang jumlah perawinya disetiap tingkat tidak sampai ketingkat mutawatir.
2) Berdasarkan
Kwalitas Sannad (Jalur Penceritanya)
Dan Matan (Teksnya) :
a. sahih, hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, terpecaya, kuat hafalannya, dan tidak
mempunyai cacat dan jalur periwayatnya sampai nabi
b. hasan,
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, terpecaya, tidak cacat
moral, namun kurang kuat dalam hal hafalannya dan jalur periwayatannya sampai
pada nabi.
c. dhaif,
yaitu hadits lemah, yakni hadits yang penceritanya terdapat cacat, atau
periwayatannya tidak sampai nabi.
E.
Kedudukan
Sunnah Dan Hubungannya Dengan al-Qur’an
1. Bayan tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat al-Qur’an
yang sifatnya umum, tak ada penjelasannya teknisnya. Misalnya perintah tentang
sholat. Al-Qur’an hanya memerintahkan umat islam untuk sholat tetapi tidak
memerinci bagaimana cara melaksanakan sholat. Dalam hal ini sunnah lah yang
menjelaskan bagaimana cara melaksanakan sholat.
2. Bayan taqrir,
yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an seperti dalam surat
Al-Baqarah:185 yaitu :
“Bulan
Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada
di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu
bersyukur”. (Q.S Al-Baqarah : 185.)
Dan diperkuat oleh
hadits Nabi
yang memerintahkan untuk mulai berpuasa
pada saat melihat bulan yang menjadi pertanda masuk bulan ramadhan dan menyudahi puasa saat melihat bulan yang menandakan
berakhirnya bulan ramadhan.
3. Bayan taudhi,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan suatu ayat seperti pernyataan nabi SAW: “
Allah tidak mewajibkan zakat
melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu
yang sudah dizakatkan”.
Perkataan ini menerangkan ayat 34 surat At-taubah
F.
Ijtihad
Proses
pengambilan suatu produk hukum atau aturan tertentu dari sumber asli ini
disebut dengan ijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “mencurahkan segala kemampuan atau menanggung
beban”. Karena itu ijtihad
menurut bahasa diartikan sebagai usaha yang optimal dan menanggung beban berat.
Kata jahada juga menunjuk makna
kesanggupan, kekuatan dan berat.
Secara
terminologi para ulama mendefinisikan ijtihad
dalam beberapa pengertian, antara lain:
1. Abdul
Wahhab mendefinisikan ijtihad
dengan mencurahkan segala kesungguhan untuk mendapatkan syara’ dan dalil yang
terperinci dari dalil-dalil
syari’ah.
2. Imam
asy-Syaukani mengartikan ijtihad
dengan mencurakan segalah kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang
bersifat amaliah dengan cara menggunakan istinbat
(menggeluarkan hukum atau aturan dari sumber asli).
3. Al-Amidi
mendefinisikan ijtihad
sebagai dengan,
mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zanni (tak pasti maknanya), dalam batas
sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.
4. Al-Ghazali
mendefinisikan ijtihad
dengan pencurahan kemampuan seorang muztahid
dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i.
5. Abu
Zahrah mendefinisikan ijtihad
dengan upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum
amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Berdasarkan beberapa definisi para ulama diatas, terdapat persamaan dan perbedaan
diantara mereka, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa perbedaan terjadi pada: pertama, terletak pada subjek ijtihad, ada yang menisbatkan kepada
ahli fikih dan sebagaian menisbatkan kepada mujtahid
yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad tidak terbatas pada fikih tetapi juga
menyangkut hal lain. Kedua, terletak
pada metode ijtihad,
ada yang menggunakan metode manquli
(dari al-Qur’an
dan sunnah),
sementara sebagian yang lain menggunakan metode ma’quli (penalaran akal).
Adapun kesamaannya yaitu: pertama, hukum yang dihasilkan dari ijtihad bersifat zanni
(nilai
kebenarannya tidak mutlak), dan kedua,
objek ijtihad
berkisar seputar hukum taklifi, yaitu
hukum yang berkenaan dengan amaliah, bukan yang berkenaan dengan akidah. Secara
umum ijtihad
dapat didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh untuk mengeluarkan suatu hukum
atau ajaran tertentu dari al-Qur’an
dan sunnah dengan syarat dan metode tertentu. Namun yang lebih tepat, ijtihad adalah sebuah alat untuk
merumuskan hukum atau aturan tertentu dari sumber asli islam. Ijtihad memiliki
kesamaan arti dan fungsi dengan istilah Tajdid dapat diartikan sebagai upaya Purifikasi, Revitalisasi,
Reformulasi
dan Modernisasi ajaran-ajaran islam.
Purifikasi artinya pemurnian kembali, yakni mengembalikan ajaran islam sesuai
dengan sumber asli yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Revitalisasi adalah pemaknaan ajaran
islam sehingga berperan nyata dalam kejiwaan orang bersangkutan maupun dalam
kehidupan sosial. Reformulasi adalah penyusunan kembali khasanah keilmuan islam
sesuai dengan kebutuhan zaman. Terakhir, Modernisasi adalah upaya
menyelaraskan ajaran
Islam
dengan dunia modern sekaligus mengevaluasi modernisme dengan ajaran Islam. Contoh dari ijtihad yaitu,
misalnya : Penentuan I Syawal, Para ulama berkumpul untuk berdiskusi
mengeluarkan argumennya untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal
Ramadhan. Setiap ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya,
jika telah ketemu maka muncullah kesepakatan dalam penentuan 1 Syawal.
Oleh karena itu ijtihad sangatlah berguna di zaman
yang sudah sangat modern ini agar tetap taat kepada Allah, karena banyak sekali
permasalah saat zaman ini yang dapat membuat manusia jauh dari agama apalagi di
tambah dengan banyaknya manusia yang tidak dapat atau mau berfikit keadaan umat
islam saat ini. inilah manfaat Ijtihad yaitu :
1. Setiap
permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat diketahui hukumnya sehingga
hukum islam selalu berkembang serta sanggup menjawab tantangan.
2. Dapat
menyesuaikan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman, waktu dan keadaan.
3. Menetapkan
fatwa terhadap masalah-masalah yang tidak terkait dengan halal atau haram.
4. Dapat
membantu umat islam dalam menghapi setiap masalah yang belum ada hukumnya
secara islam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan
mengetahuinya sumber ajaran agama Islam maka kita tidak akan lagi bingung
bagaimana memutuskan suatu perkara, membedakan mana yang
benar atau salah dan dengan
cara menerapkan sumber ajaran agama Islam itu, seperti halnya Al-Quran,
As-Sunnah dan Ijtihad dalam kehidupan sehari-hari kita. Dengan memandang bahwa
sumber itu sebagai pedoman, petunjuk, acuan di dalam kehidupan kita, maka dengan diterapkannya Al-Quran,
As-Sunnah dan Ijtihad kita
tidak akan bingung lagi hidup di dunia,bimbang dalam menjalani kehidupan karena
insya Allah kita akan
selamat di dunia dan akhirat apabila menerapkan sumber ajaran
agama islam tersebut.
B. Saran
Jadikanlah
Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad untuk pedoman hidup kita, karena dengan
mempelajari dan menerapkannya maka kita akan mengetahui mana yang baik dan
buruk dan apa yang paling utama dan dipentingkan terlebih dahulu
dalam hal apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Risalah
islam.2013.Sumber Ajaran Islam
Al-Quran Hadits.2 November 2015
Abdullah21.wordpress.com.2008.Sumber Ajaran Islam.5 November 2015
tim penulis.2009.Pendidikan
Agama Islam.Uhamka
Press.
http://tafsirq.com/30-ar-rum/ayat-30
21 Desember 2015 pukul 05.22
http://adinawas.com/contoh-contoh-hadits-qouliyah-filiyah-dan-taqririyah.html
21 Desember 2015 pukul 06:51
https://hapidzcs.wordpress.com/category/makalah/ulumul-hadits/
21 Desember 2015 pukul 08.53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar